Sosok Kartini dalam Tokoh Nyai Ontosoroh dari Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer
Setiap tanggal 21 April, kita memperingati perayaan hari Kartini. Raden Adjeng Kartini adalah tokoh wanita yang dikenal berjasa untuk kaum perempuan di Indonesia. Setiap kita mengingat Kartini maka kita sudah akrab dengan kutipan “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Bukunya dengan judul yang sama pernah diterbitkan oleh Balai Pustaka pada Januari 1912.
Buku ini berisi kisah perjuangan R.A Kartini yang diceritakan dalam surat-suratnya untuk teman, sahabat, saudara, dan sampai generasi perempuan saat ini. Perjuangan yang diceritakan secara jujur ini berisi tentang keinginan Kartini untuk membuat perempuan menjadi lebih maju, berpendidikan, dan bisa mengeluarkan pendapat.
Kisah tentang perjuangan Kartini sebenarnya telah ditinjau sejak lama. Bahkan tema seperti ini sudah diterapkan dalam beberapa tokoh novel sejak dulu. Salah satunya adalah kisah Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai karakter perempuan yang kuat dan tangguh, sehingga meskipun bukan tokoh utama tapi bisa menarik minat pembaca. Nyai Ontosoroh menjadi istri simpanan yang lebih banyak dihina dan dicemooh dalam kehidupan. Bukannya menjadi lemah tapi Nyai Ontosoroh justru menerima status sebagai istri simpanan yang dipandang terhina. Tapi caranya tidak dengan meratapi nasib. Sebaliknya ia ingin diakui sebagai wanita yang bermartabat dan layak diakui sebagai manusia.
Nyai Ontosoroh memiliki masa lalu sebagai anak perempuan yang dijual ayahnya dan menjadi gundik dari tokoh Herman Mellema. Nyai Ontosoroh atau yang bernama asli Sanikem berkeinginan kuat untuk keluar dari kondisi terpuruk, terhina, dan hidup menderita. Akhirnya ia belajar cara berhitung, menulis, bahasa Belanda, tata niaga, perdagangan, budaya, dan bahkan hukum Belanda.
Satu keinginan terkuat Nyai Ontosoroh adalah bahwa semua ilmu yang dipelajari itu kelak akan berguna untuk dirinya sendiri dan anak-anaknya. Sampai akhirnya Nyai Ontosoroh memiliki kemampuan yang sangat baik. Ia bisa berkomunikasi dengan bahasa Belanda, bisa menangani semua masalah administrasi, surat menyurat dan bahkan negosiasi dalam perdagangan.
Tokoh Kartini seolah-olah hidup dalam Nyai Ontosoroh. Ia adalah perempuan yang sangat kuat, bermental baja, pantang menyerah, dan memiliki jiwa pelindung. Ia adalah tokoh wanita yang ingin maju, mau belajar dengan keras, bertekat kuat, dan mau mengubah nasibnya yang sering dipandang rendah.
Mengingat kisah Nyai Ontosoroh, maka sudah selayaknya memperingati hari Kartini tidak harus dengan mengenakan kebaya atau baju adat di berbagai wilayah Indonesia. Dari kisah tokoh yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer ini, kita sebagai perempuan Indonesia harus belajar terus dengan berbagai aspek yang terus maju mengikuti perkembangan dunia.
Yuk, Bookish Journalers! Kita maju menjadi Kartini-Kartini dalam berbagai bidang…
Penulis: Artrias Setiawan
Editor: B. Romansha