Secuil Kisah Wanita Penggerak Kemajuan (Cerpen)
“Bermimpilah setinggi langit, karena jika kau jatuh, maka kau akan jatuh di antara bintang-bintang” Ir. Soekarno
Kutipan itu menjadi pendorongnya dalam mewujudkan cita-citanya. Panggil saja dia Nisrina, seorang anak perempuan yang terlahir di desa yang dimana kesetaraan gender masih belum berkembang dengan baik.
Bapak dan ibu Nisrina hanya mengangguk-angguk ketika anaknya itu mulai berceloteh tentang apa yang ia cita-citakan. Mereka menganggap pada akhirnya anaknya akan berakhir seperti perempuan lain di desa itu, sebagai ibu rumah tangga.
Suatu saat ketika mereka bertiga sedang makan malam, Nisrina kembali bercerita, namun bukan cerita seperti biasanya, melainkan tujuannya yang ingin membawa perubahan pada desanya agar tidak memandang perempuan sebelah mata. Mungkin, ketika itu bapaknya ingin sekali memberitahu Nisrina bahwa ia tidak akan mungkin bisa, namun secepat mungkin dicegah oleh Ibu Nisrina.
“Pak, buk, setelah selesai membersihkan ini, saya izin mau ke kamar dulu ya, saya mau melanjutkan belajar lagi.” ucapnya sambil membereskan sisa-sisa piring makan malam.
“Belajar aja sana, siapa tahu cita-citamu itu terwujud.” jawab bapaknya terkesan dingin.
Setelah semua selesai dibersihkan, Nisrina kembali menuju kamarnya untuk berkutat dengan buku-buku pelajarannya. Ia tahu, cita-citanya ini begitu berat untuk dicapai, sering dilihat ekspresi kedua orangtuanya yang tidak mendukungnya, apalagi bapaknya itu.
Tidak terasa jarum jam sudah menunjukkan hampir tengah malam, ia sudah menguap berkali-kali namun dipaksanya membaca lembaran-lembaran berisi ratusan kata itu. Dirasanya tenggorokannya meronta-ronta meminta air, ia berjalan menuju dapur untuk mengambil air, namun samar-samar ia mendengar suara perdebatan dari kamar kedua orangtuanya.
“Mau, nggak mau, pokoknya kita harus segera kasih tahu Nisrina supaya Dia tahu, perempuan itu kodratnya cuma ngurus rumah sama anak, nggak ada yang namanya jadi macam-macam.” ucap Seno, bapaknya Nisrina.
“Apa salahnya to pak, Kita dukung dan berdoa saja supaya dia berhasil. Kasian Dia pak kalau kita menghancurkan semangatnya.” bela Retno, ibu Nisrina
“POKOKNYA, DIA HARUS NURUT, JANGAN KEBANYAKAN MIMPI YANG ANEH-ANEH.” geram Seno
Dari luar, terlihat Nisrina mulai berkaca-kaca, ia berlari kembali menuju kamarnya dan menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Benar dugaanya selama ini bapaknya tidak mendukung mimpinya sama sekali. Ia menangis tersedu-sedu hingga tanpa sadar dia jatuh terlelap.
Keesokan paginya, ia berangkat sekolah dengan semangat yang telah pudar akibat kejadian semalam. Selama pelajaran berlangsung, ia tidak bisa fokus sama sekali. Terngiang-ngiang perkataan bapaknya semalam. Bu Mina yang sedari tadi mengajar, terus melihat Nisrina yang terus melamun.
“BRAAKK,” Bu Mina memukul mejanya dan mencoba menyadarkan Nisrina dengan sindiran “JANGAN ADA YANG MELAMUN DI KELAS SAYA!!”
Yang tersindir tersadar dan kembali fokus mendengar pelajaran yang disampaikan gurunya. Ia mulai mencatat hah-hal yang menurutnya penting.
Jam pelajaran pun berakhir, anak-anak mulai merapikan buku-bukunya ke dalam tas, tak terkecuali Nisrina. Bu Mina mendekati meja Nisrina dan berkata, “Nis, nanti jangan pulang dulu, temui saya di ruang guru, saya mau bicara sama kamu!”
Nisrina mengangguk patuh. Bel pulang berbunyi, Nisrina berjalan menyusuri koridor sekolahan dan menuju ke ruang guru. Terlihat Bu Mina sedang membaca majalah.
“Ada apa bu, sepertinya ada hal penting yang mau dibicarakan?” tanya Nisrina takut-takut.
“Sebenarnya saya hanya mau bertanya, ada masalah apa, tidak biasanya kamu tidak fokus ketika mengikuti pelajaran?” tanya Bu Mina balik.
Ingin sekali Nisrina bercerita, namun dilihatnya ruang guru sangat ramai dengan guru-guru dan siswa. Bu Mina yang mengetahui ekspresi Nisrina mengajaknya pergi dari ruang guru, “saya tahu kamu canggung jika bercerita di tempat ramai, ayo kita cari tempat yang sepi!”
Nisrina hanya mengangguk, mereka menuju salah satu ruang kelas yang telah sepi dari murid-murid. Nisrina mulai bercerita dari awal hingga kejadian semalam. Bu Mina merasa iba mendengarkannya, pada akhirnya ia memberi nasehatnya.
“Saya tahu niat kamu itu sangat mulia, jarang-jarang ada seorang perempuan yang memperjuangkan haknya seperti kamu. Namun, kamu tidak boleh melawan keputusan kedua orangtuamu, kamu har-“ seketika ucapan Bu Mina terpotong.
“Harus menuruti perintah bapak saya bu. Saya tahu keinginan saya ini sangat tidak mungkin, karena di desa ini kesadaran tentang kesadaran gender masih kurang. Tapi bu saya ingin membuktikan pada seluruh warga desa, termasuk semua perempuan, agar mereka harus bisa membuktikan bahwa mereka bisa menjadi lebih.”
“jangan kamu potong ucapan saya, benar kamu harus menuruti kedua orangtuamu. Bukan maksud saya tidak mendukung kamu. Saya tahu niat kamu itu baik. Saya hanya ingin menyarankan jika kamu benar-benar ingin sekali, coba kamu bujuk bapak kamu. Buat beliau percaya akan kemampuan kamu,” ucap Bu Mina tulus, “saya disini akan terus mendukung niatmu itu, karena tujuan saya datang ke desa ini adalah untuk mengubah pemikiran orang-orang desa. Tetap semangat Nis, ibu akan selalu mendukungmu.”
Nisrina mengangguk-angguk, tidak terasa air matanya menetes ke pipinya. Ia tidak menyangka bahwa ada orang yang mendukungnya. Bu Mina mulai bercerita tentang tujuan awalnya datang ke desa ini, namun, tujuannya itu harus ia buang jauh-jauh karena ia hanya seorang diri. Tapi sekarang dia bisa melanjutkan lagi dengan bantuan Nisrina. Setelah semua selesai Nisrina berpamitan pulang. Sesampainya di rumah ia mendapati bapaknya yang sedang membaca koran. Ia berusaha membujuk bapaknya agar mendukungnya. Keberuntungan berpihak padanya. Bapaknya mendukung rencananya, namun ada sedikit keraguan di dalam matanya.
Singkatnya, Nisrina mencoba mengikuti tes beasiswa yang disarankan Bu Mina. Ia mencoba berbagai tes dan pada akhirnya salah satu tes tersebut, ia keterima dalam universitas dengan beasiswa penuh. Ia berhasil lulus dengan tempo yang cukup cepat dan memulai karirnya di sebuah perusahaan. Orang-orang di desanya tidak menyangka bahwa Nisrina bisa sesukses itu. Langkahnya mulai ditiru oleh para perempuan desa itu, dan itu semua berkat sedikit bujukan dari Bu Mina agar mengizinkan anak-anak perempuan bisa bebas menjadi apapun yang mereka inginkan. Warga desa pun sepakat agar mulai menerapkan sistem kesetaraan gender dan menganggap wanita dan laki-laki sama, dan para perempuan bisa melakukan apapun yang mereka inginkan dengan syarat masih mematuhi norma-norma sosial di masyarakat. Nisrina sangat senang karena bisa mengubah pikiran warga desa. Dengan demikian kesetaraan gender bisa berlangsung di desanya. Tak lupa ia berterima kasih pada Bu Mina yang telah mendukungnya. Dalam hatinya ia berjanji akan terus mendukung hak-hak wanita yang disepelekan.
Story by: Winda Nafiqih Irawan