Kepada Puan dan Ketangguhan (Cerpen)

Semenjak  Dai Nippon menjajaki Nusantara—bumi kami tercinta—kerap sekali saya mendapati kemurungan yang diam-diam  ibu sembunyikan di balik ketangguhannya.  Barang tentu ada seruah kesedihan yang masih tertinggal di ingatannya yang begitu sukar didepak.

Orang-orang mengenal ibu dan memanggilnya dengan nama Raharjeng. Raharjeng Pradnya. Ibu hanya tamatan Volkschool, sebuah sebutan sekolah desa pada zaman Hindia Belanda yang diperuntukkan bagi Bumiputera rendahan. Akan tetapi, hal tersebut tidak menyurutkan keinginan ibu untuk banyak melahap pelbagai buku bacaan demi meloloskan rasa haus akan pengetahuan. Ibu tidak pelit. Sebanyak ilmu yang berhasil ia raup, sebanyak itu pula ia bagikan ke anak-anak dan perempuan-perempuan di Bentala.

Menumbuhkan budaya membaca, belajar menulis, dan memberantas buta huruf adalah harapan ibu. Maka beliau mulai mewujudkannya secara bertahap. Saban hari, ibu mengajar dengan sabar. Bahkan tak tanggung-tanggung, tawa dan senyum hangat begitu mudah menjalar dan menular ke saya, sebagai anak sekaligus muridnya bersama dengan teman-teman kala itu. 

Ibu pun menaruh keyakinan bahwa para perempuan punya andil besar dalam negeri. Meski tidak berjuang dengan senjata api bak kaum laki-laki, ibu percaya kaumnya akan mumpuni berjuang melalui pendidikan dan mencerdaskan satu generasi. Maka dari itu, ibu tidak pernah bosan menyuntikkan berjebah pemikiran kepada anak-anak perempuan di Bentala agar memiliki pendirian, kepercayaan diri,  dan kemuliaan  sejati. Ironisnya, tahun kedatangan yang katanya mengaku sebagai saudara tua, menjadi tahun-tahun yang merampas sinar di wajah ibu.

Bukan satu per satu, melainkan sekali kerjapan mata jitu, remaja perempuan di Bentala—murid-murid ibu—ditarik paksa dan dijadikan budak untuk para serdadu sekutu. Ibu betul-betul terguncang. Pagi hingga petang ia pakai waktu yang dipunya untuk tetap mengajar. Sisanya ibu berdiam diri. Kadang-kadang melupakan makan dan tak ayal memangkas jam tidur dengan membaca dan menulis sebanyak-banyaknya. Sampai jemarinya mati rasa, matanya mengeluarkan air bah, lalu merayapi tubuhnya hingga lelah.

Lima tahun sudah sekutu angkat kaki dari tanah air dan Indonesia merdeka. Namun ibu belum kunjung sembuh dari kemurungan. Pernah ketika hening di suatu malam, pintu rumah kami diketuk. Saya yang ketika itu belum sepenuhnya tau apa-apa, hanya terpaku menangkap suguhan ibu dengan satu perempuan  sama-sama membaur dalam isak yang pecah. Sang perempuan lawan berbicara ibu adalah jugun ianfu masa kependudukan Jepang beberapa tahun yang lalu. Samar-samar saya mendengar cerita yang tertutur dari perempuan itu amat menyayat. Dari sana saya paham, mengapa kesedihan begitu betah menjamah ibu. Beberapa dari kaumnya dan anak-anak didiknya tertimpa kemalangan yang bengis.

Seiring berjalannya waktu, saya tumbuh besar. Pun ibu berangsur-angsur pulih. Tatkala keheningan hampir mengantarkan ibu pada kilasan masa-masa tragis itu, saya buru-buru mencari ide agar ibu teralihkan dari ingatan yang memilukan. Saya mengajak ibu berbincang, mendiskusikan bacaan yang baru saya cerna dari buku-buku yang sudah lama ibu pindai di kepalanya. Betapa buku ternyata masih menjadi alasan yang cukup mudah untuk menarik ibu menjadi lebih hidup, bergairah, dan sesekali marah atau menyisip senyum beserta tawa di wajah.

“Ibu, kenapa mau-maunya menjadi tenaga pendidik tanpa dibayar dan tidak diakui pemerintah?” Saya bertanya ketika menutup buku yang selesai dibaca ketika itu juga. 

“Kau tahu Tan Malaka?”

Saya mengangguk, hanya gerakan pelan tanda tahu semata. Seorang Tan Malaka  penulis Madilog dan Massa Actie yang entah dari mana, ibu bisa miliki kedua buku itu dan merekomendasikan saya membacanya beberapa tahun yang lalu.

“Ibu pinjam kata-kata beliau yang menjadi semangat kenapa ibu masih antusias berbagi ilmu sampai sekarang. Mengajari anak-anak Indonesia saya anggap pekerjaan tersuci dan terpenting. Kalau mau kaya, jangan jadi guru. Kalau mau berbagi, ya baru jadi guru. Nggak bagi duit, tapi bagi ilmu. Lebih berguna itu. Anak-anak butuh isi kepala yang banyak dan berkualitas, ketimbang isi dompet yang tebal.” Ibu mengetuk-ngetuk kepalanya dengan telunjuk. Ibu, meski putih salju perlahan mulai mengganti warna rambutnya yang hitam legam, beliau masih tampak enerjik dan tegas. 

Saya menerbitkan seulas senyum. “Tulisan Ibu… udah rampung?”

“Ooh ini.” Ibu membolak-balikkan lembaran kertas berisikan tulisan yang beliau abadikan menggunakan perantara mesin tik. Satu-satunya benda yang menjadi teman ibu selain tinta dan pena. “Sedikit lagi. Pokoknya, kau harus menjadi pembaca kedua setelah ibu. Tunjukkan apa yang kau dapat selama bersekolah sampai duduk di perkuliahan.”

Senyum saya berubah jadi tawa yang berderai. “Nanti Bayanaka analisis dari segi Teori Feminisme dalam Sastra.”

Ibu tersenyum. Matanya melengkung. Betapa saya ingin menikmati ekspresinya yang hidup seperti sekarang ini saban waktu.

“Bayanaka, itu buku apa?”

Saya melihat arah tatapan ibu. Lantas saja saya menunjukkannya. “Karya Pak Pram.”

Ibu menyipitkan matanya. “Panggil Aku Kartini Saja.” Ibu membaca dengan sedikit terbata lantaran penglihatannya sudah tidak sebagus ketika muda. “Ibu belum baca. Nanti ibu pinjam. Setelahnya kita bincang lagi sama-sama.”

Dengan riang hati saya mengangguk. “Bu, Bayanaka mau bilang.” Saya membuka topik baru. “Bayanaka merasa sangat beruntung terlahir dari rahim ibu. Tidak kekurangan sesuatu apa pun. Cuma satu kurangnya, Bayanaka ingin kemurungan yang mengungkung ibu lepas. Peristiwa belasan tahun lalu semoga berhenti menghantui ibu. Ibu sudah berusaha menjadi guru bagi para anak dan perempuan di Bentala. Terutama bagi saya, Bayanaka. Putra ibu.”

Ibu hanya diselimuti hening dalam waktu yang cukup lama sebelum akhirnya tersenyum dengan bibir yang bergemetar. Air bah pada matanya bergumul di pelupuk, siap luruh kapan saja. Ibu… saya tidak bermaksud membuat ibu menangis. Saya ingin ibu menikmati masa tua ibu tanpa merasa memikul beban dan kesalahan. Keprihatian ibu terhadap sesama perempuan begitu luas dan tak perlu saya ragukan. Sekarang, lampiaskanlah cukup dengan menulis tanpa menangis.

“Bayanaka, mau ke mana?”

“Kerja, Bu.”

“Bolos satu kali saja. Gajimu tidak akan dipotong. Kau tidak lihat kalau negeri sedang kacau?”

“Saya jurnalis, Ibu.” Pagi itu, di tahun 1966, saya pamit kepada ibu seperti biasa. Ibu sempat sangsi dan meminta saya  sehari tak usah masuk kerja. Namun, saya dengan lembut meyakinkan ibu bahwa saya harus berangkat dan setelahnya akan pulang kembali. Ibu menangis. Untuk pertama kalinya setelah lama tidak mengeluarkan riak tangis terlampau parah hanya karena saya. Beliau meminta saya untuk tinggal, tetapi saya tetap pada pendirian saya. 

Hanya itu yang bisa saya ingat. Mencium punggung tangan ibu dan berlama-lama memeluknya. Tak berapa lama, saya kembali bersimbah merah di dekapan ibu.  Kami tak sempat mendiskusikan salah satu buku Pak Pram seperti yang digadang-gadangkan ibu. 

Ibu, aku membawa kenang berupa ketangguhanmu sebagai wanita.

Story by: Marisa Oktari

Leave a Reply