Wanita Sulung di Keluarga Kami (Cerpen)
Najmi, kakak tertua kami dari empat bersaudara. Seperti namanya, dia sangat berkilau bak bintang. Ia adalah tulang punggung keluarga kami sejak baba1 dan anne2 meninggal. Baba meninggal 6 bulan lebih dulu, tepatnya saat aku masih berumur 3 bulan dalam kandungan anne. 6 bulan kemudian, anne meninggal saat memilih melahirkan aku ke dunia. Aku bahkan tidak tahu wajah baba dan anne, karena kami berasal dari keluarga kecil yang tidak mampu mengabadikan sebuah foto. Tapi kata kakak-kakakku, aku adalah satu-satunya anak yang mirip baba, dan kak Najmi yang paling mirip anne. Dua kakak kembarku, kak Syam dan kak Zahra, wajahnya campuran antara baba dan anne.
Sebagai seorang sulung, kak Najmi memegang tanggung jawab besar kepadaku, kak Syam, dan kak Zahra. Saat usianya masih 13 tahun dan duduk di bangku kelas 7, dia sudah harus menjadi orang tua untuk kami, pontang-panting bekerja hanya untuk membeli satu liter beras dan susu untukku. Ia pernah berpikir untuk berhenti bersekolah, bukan karena ia tak suka bersekolah, tapi ia ingin fokus bekerja agar kami bisa makan sesuap nasi setiap harinya, tapi melihat kakak kembarku yang umurnya masih 7 tahun dan butuh seseorang yang bisa memberinya semangat belajar, maka kak Najmi memutuskan untuk tetap bersekolah tinggi-tinggi dan bekerja keras setiap hari. Semua pekerjaan dilakukan kakak sulung kami itu, mulai dari memulung, mencuci pakaian tetangga, berjualan kue, bahkan pekerjaan lelaki ia lakukan seperti memancing ikan dan bekerja di bengkel. Semua pekerjaan itu ia lakukan dengan ikhlas demi melihat kami tumbuh sehat dan cerdas. Di usia remajanya itu, seharusnya ia terlihat begitu anggun dengan wajah cantiknya yang alami, tapi demi kami ia rela terlihat begitu kusut di antara teman-temannya yang lebih beruntung.
Kak Najmi tak hanya ulet bekerja, tapi juga tekun belajar, tak heran jika ia selalu dapat peringkat satu di kelasnya. Karena prestasinya, ia selalu diberi beasiswa dari sekolah dan beberapa guru yang salut melihat kerja kerasnya pun turut memberi bantuan, bahkan sekadar membeli kue jualannya. Kepala Sekolahnya juga pernah ingin mengadopsiku agar kiranya dapat mengurangi sedikit bebannnya, tapi ia menolak karena begitu sayangnya dia kepadaku.
Tiga tahun berlalu, kak Najmi memilih membawa kami pindah ke kota untuk melanjutkan sekolahnya di SMA ternama kala itu. Karena kerja keras dan ketekunannya belajar, setidaknya hidup kami jauh lebih baik, tak ada lagi rumah beralas tanah dan beratap jerami, sejak diterima di sekolah impiannya dengan beasiswa, kami pun tinggal di rumah beralas lantai, berdinding tembok, dan beratap genting meski tidak begitu luas. Tapi bagiku, ini sebuah pencapaian hebat dalam waktu yang singkat.
Meskipun sudah tinggal di kota, kak Najmi harus tetap bekerja, tapi pekerjaannya sedikit lebih baik saat diterima bekerja di sebuah Warung Makan besar dengan gaji yang lebih dari cukup. Setiap akhir pekan ia juga selalu membawa kami main ke pantai, alih-alih ia membersihkan sampah-sampah disana, tetapi dia tidak lagi memulungnya untuk ditimbang melainkan untuk didaur ulang agar memiliki nilai lebih.
Bibit ikhlasnya benar-benar berbuah banyak hikmah, baru satu semester bersekolah di SMA ia sudah diangkat sebagai Duta Lingkungan Sekolah karena tekunnya ia memperhatikan kebersihan sekolah. Tak hanya itu, ia juga mendapatkan juara umum 1 saat penerimaan rapor, dan satu bulan setelahnya ia diangkat sebagai Duta Pelajar dan Duta Anak sekaligus.
***
Masa-masa gemilang diperoleh kakak sulungku selama di SMA, dan sebelum ia resmi tamat, ia berkesempatan mengikuti delegasi ke Turki selama 6 hari. Aku sudah cukup besar kala itu, sudah berumur 6 tahun, dan kakak kembarku berumur 13 tahun, bahkan kami lebih dewasa dari umur kami berkat kak Najmi. Makanya ia yang tadinya menolak untuk mengikuti delegasi itu, akhirnya menerimanya karena berpikir kami memang sudah cukup mandiri dan ini tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama.
Begitu tiba kembali di Indonesia, ia mendapat kabar gembira bahwa ia telah diterima di sebuah Unviersitas impiannya di Kanada. Namun, di balik kebahagiaannya ternyata tersimpan rasa dilema untuk meninggalkan kami dalam waktu yang lama, karena baginya kami tetaplah tanggung jawabnya. Ia tidak bisa membayangkan jika kami akan bekerja di usia belia. Dan dengan segala keikhlasannya ia tersenyum dan berkata “Kakak tidak akan pergi jauh lagi, kakak akan tetap bersama kalian sampai kakak melihat kalian jadi orang hebat. Jadi, tugas kalian sekarang adalah belajar dengan giat supaya bisa jadi orang berguna, dengan begitu tercapailah cita-cita kakak”.
Meski tidak memilih kuliah di Kanada, kak Najmi tetap mendapat beasiswa kuliah di salah satu Universitas ternama di Indonesia . Ia lulus begitu cepat dengan IPK sempurna, dan tak lama setelah itu ia memilih untuk menjadi dosen di Universitas yang sama. Ia terlihat begitu anggun dengan profesi mulianya di umur 24 tahun.
***
26 tahun berlalu, sekarang kakak sulung kami sudah berumur setengah abad, kak Syam dan kak Zahra berumur 44 tahun, dan aku 37 tahun. Kak Syam sudah menjadi seorang Diplomat Madya, kak Zahra dan aku adalah Dokter Spesialis Bedah.
Melihat kami semua sudah menggapai cita-cita kami, kak Najmi memilih untuk pensiun dari profesinya lebih awal, bukan karena bosan, tapi ia ingin melakukan sesuatu yang lebih mulia, meninggalkan kota menuju ke pelosok negeri untuk mencetak generasi-generasi gemilang lainnya. Bagi kami, wanita itu akan selalu menjadi bintang yang bersinar paling terang, Sirius untuk keluarga kecil kami.
Story by: Anggi