Sudah Baca Novel “Frankenstein” karya Mary Shelley? Simak Reviewnya Berikut Ini, Yuk!

Novel Frankenstein  disebut-sebut sebagai novel dengan genre science-fiction  pertama yang pernah ditulis. Novel yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1818 ini mengisahkan tentang seorang ilmuwan bernama Dr. Victor Frankenstein dan makhluk ciptaannya. Frankenstein penasaran untuk “menciptakan” makhluk hidup yang membawanya pada eksperimen ini. Penting bagi kita untuk mengetahui kisah dibalik penulisan novel Frankenstein. Mary Shelley, Percy Bysshe Shelley–suaminya–menghabiskan musim panas tahun 1816 di villa Lord Byron di Geneva, Switzerland. Mary Shelley terinspirasi untuk menulis kisah Frankenstein setelah Lord Byron mengadakan kompetisi menulis cerita horror. Lord Byron menulis cerita tentang Vampir dan Mary Shelley dengan Frankenstein.

Mary Wollstonecraft Shelley

Frankenstein mengumpulkan bagian tubuh dari orang-orang yang sudah meninggal kemudian menggabungkannya menjadi satu. Dr. Frankenstein tidak menjelaskan secara gamblang proses “penghidupan” makhluk ciptaannya dalam narasinya tersebut. Sarah Canfield Fuller dalam jurnalnya yang berjudul “Reading Cyborg in Mary Shelley’s ‘Frankenstein’” berargumentasi bahwa, “scientific discourse is not as strong a presence in the novel as might be expected”. Usaha yang Frankenstein tekuni selama dua tahun berubah menjadi teror yang mengerikan sesaat setelah makhluk ciptaannya itu membuka mata untuk pertama kalinya. Mata kuning yang bersinar tajam membuat Frankenstein ketakutan. Dalam novel dideskripsikan bahwa Monster memiliki kulit kuning, rambut hitam, bibir berwarna hitam, tinggi yang mencapai kurang lebih 2,5 meter, dan dengan kecepatan di atas rata-rata manusia normal. Rasa penasaran Frankenstein tentang “the change from life to death, and death to life,” (Shelley, 2016: 44) dan egonya untuk membuat spesies baru membawanya pada malapetaka.  

Novel Frankenstein memiliki struktur naratif yang kompleks. Diawali dengan surat yang Walton tulis kepada Mrs. Saville di Inggris. Dalam bagian surat ini Walton menceritakan bagaimana ia menyelamatkan Frankenstein yang sedang sekarat. Setelah diselamatkan oleh Walton, Frankenstein bercerita mengenai kehidupannya dan makhluk yang ia ciptakan. Mulai dari sini bagian surat bergeser pada narasi Frankenstein. Makhluk ciptaan Frankenstein tidak dibuat bisu melainkan diberi suara, dalam narasi Frankenstein terdapat juga narasi Monster. Monster menceritakan bagaimana kehidupannya setelah membuka mata kemudian berkelana, cerita mengenai penduduk desa–Felix, Agahtha, ayah mereka yang buta, Safie–dan perjuangannya mencari Victor. Tidak hanya suara dari monster, pada narasi Frankenstein terdapat beberapa surat yang ditulis oleh Elizabeth Lavenza. Narasi kembali pada Frankenstein dan surat Walton untuk Mrs. Saville. Dari paparan di atas, menurut saya ada tiga lapis struktur naratif–epistolari, narasi Frankenstein, dan narasi Monster.

Boris Karloff sebagai Monster

Monster digambarkan sebagai makhluk yang dapat memainkan emosi. Victor menyatakan pada Walton bahwa Monster itu sangat pandai dalam membuat orang lain simpati pada cerita yang ia sampaikan, “[Walton] at first touched by the expressions of his misery; yet, when I called to mind what Frankenstein had said of [the creature’s] power eloquence and persuasion” (Shelley, 2016: 228). Karakterisasi Monster yang terpecah-pecah membuatnya ambigu antara baik atau buruk. Ia dapat membuat Frankenstein tersentuh karena ceritanya tentang penghuni desa, namun setelah itu membuat Frankenstein marah besar karena Monster memintanya terus-menerus untuk dibuatkan makhluk perempuan sejenisnya. Namun Frankenstein menyebut bahwa makhluk ciptaannya sebagai monster yang jahat. Perang antara Frankenstein dan Monster dimulai ketika adiknya, William, meninggal karena dibunuh oleh makhluk ciptaannya sendiri. Monster membuat bukti seakan-akan Justine yang membunuh William. Selain itu Monster mengidentifikasi dirinya sebagai  Adam dan Satan sekaligus.

Di waktu yang bersamaan, Monster merefleksikan dirinya sebagai Adam, ciptaan Tuhan, namun ia berpikir bahwa Frankenstein berbeda dengan Tuhan. Di lain sisi ia juga merefleksikan dirinya sebagai Satan karena ia berpikir bahwa dirinya tidak sebahagia Adam. Monster bahkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang keberadaannya, “[w]hat did this mean? Who was I? What was I? Whence did I come? What was my destination?” (Shelley, 2016:128). Apa artinya hidup bagi Monster jika ia tidak bahagia, tidak ada spesies yang sama dengannya, sehingga dirinya terus-menerus meminta pertanggungjawaban kepada Frankenstein.

Karena Monster dibuat dari tubuh orang yang sudah meninggal, pertanyaan yang muncul adalah: apakah dia memiliki jiwa/hati?” Dalam satu hal saya berpikir bahwa ia memiliki hati karena saat Frankenstein meninggal, Monster membuat pengakuan kepada Walton bahwa ia merasa sangat sedih ketika penciptanya meninggal dunia dan sebenarnya ia tidak mau membunuh William, Elizabeth, ataupun Clerval. Walaupun begitu menurut pemaparan Frankenstein makhluk ciptaannya tersebut mempunyai keahlian dalam “eloquence and persuasion” (Shelley, 2016: 228).

 

Think you that the groans of Clerval were music to my ears? My heart was fashioned to be suspectible of love and sympathy […] After the murder of Clerval, I returned to Switzerland, heart-broken and overcome (Shelley, 2016: 227).

 

Dilihat dari struktur naratif yang kompleks dan tubuh monster yang terfragmentasi, hal ini merepresentasikan tulisan Mary Shelley yang terpecah pula. Novel Frankenstein ditulis Shelley dari berbagai bacaan dan pengalamannya dan menyambungkannya/menciptakan suatu kreasi baru dan terlahirlah novel Frankenstein. Hal ini sama seperti saat Victor mengumpulkan tubuh orang yang sudah meninggal dan menggabungkannya menjadi makhluk baru ciptaannya. Menurut saya teks yang terpecah dan struktur naratifnya yang terbagi menjadi beberapa bagian merepresentasikan tubuh Monster yang terfragmentasi.                                                                                   

 

References:

 

Fuller, Sarah Canfield. “Reading Cyborg in Mary Shelley’s ‘Frankenstein’.” Journal of the Fantastic in the Arts (2003): 217-227.

 

Koeleman, Jan. How Dr. Frankenstein Created a Monster. 20 Mei 2018. https://blogs.unimelb.edu.au/sciencecommunication/2012/08/31/how-dr-frankenstein-created-a-monster/

 

Shelley, Mary. Frankenstein. London: Penguin, 2016.

 

 

1 Comment

Join the discussion and tell us your opinion.

5 Cerita yang Bisa Membuat Halloween Kamu Lebih Seram! – Bookish Journalreply
29 October, 2018 at 4:58 PM

[…] nama monsternya ya. Bookish Journal juga pernah menulis esai tentang novel Frankenstein ini, klik di sini untuk membacanya […]

Leave a Reply