Silvi di Indonesia Abad-22 (Cerpen)
“Pagi, Mbak Silvi!” sapa ramah Wati, perempuan lajang berumur 26 tahun yang bekerja sebagai konsultan uang, kepada tetangganya yang tinggal di sebelahnya persis. Wati sendiri sedang menyiram pohon beringin bonsai kesayangannya sebentar sebelum berangkat ke kantor. “Pagi-pagi gini sama Bayu mau kemana, ik ?”
“Ini, mau belanja ke supermarket,” jawab Silvi. “Mumpung ada diskonan sayuran sama buah-buahan. Hitung-hitung olahraga. Mau ke sana naik kereta kapsul. Kalau gak ada ginian, mending ke Bu Fitri dan asisten robotnya, he’e tho?”
“He’e, betul itu,” setuju Wati.
Eh, tiba-tiba Silvi terlupa sesuatu. Kebiasaan yang biasa dia lakukan kalau akan pergi ke luar, baik sendiri atau bersama keluarganya. Menyuruh Nona Saras menjaga rumah.
“Nona Saras!”, pekik Silvi. “Jaga rumah, ya!”
Terdengar sayup-sayup jawaban dari dalam rumah, dengan nada khas suara sebuah robot. “Iya, Mbak Silvi.”
“So, have a good day, neighbour!” ramah Silvi.
“You, too, Mbak,” balas Wati. “Have fun, ya, Bayu. Ja-ngan na-kal, ya.”
Ya, hari ini, Silvi dan Bayu, putra kecilnya yang baru berusia satu tahun, akan belanja sekalian jalan-jalan ke supermarket di dekat pusat Kota Semarang, dalam suasana Indonesia yang benar-benar maju di abad-22. Untung, halte kereta kapsul terdekat tidak terlalu jauh dari kompleks rumahnya. Tahu, ‘kan, hal begini juga ada sisi beratnya?
Silvi dan Bayu kecil bisa menikmati suasana Semarang yang maju nan futuristik ini karena revolusi mental yang benar-benar bisa dilaksanakan. Mulai dicanangkan pada abad-21, orang-orang abad-22 akhirnya bisa merasakan manfaatnya, jauh setelah pasca 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Setelah adanya revolusi mental, revolusi-revolusi lain juga ikut bergulir. Revolusi birokrasi, revolusi kesehatan, revolusi kuliner, revolusi fesyen, dan revolusi…ehm…ehm…banyak, deh!
Menempelkan kartu terusan yang selalu diisi penuh saldonya dan menunggu kereta kapsul selanjutnya datang. Hanya butuh lima menit saja untuk Silvi menunggu transportasi cepat ini datang. Karena jam kerja, wajar, halte ramai. Tapi, semua dalam kondisi tertib. Toh, memang Silvi memilih jam segini karena supermarket masih sepi.
Begitu masuk, Silvi segera masuk bagian khusus perempuan. Indonesia mungkin memang sudah maju dan menjadi salah satu pusat kemajuan di Asia, tapi para laki-laki sialan selalu saja ada, bukan? Kebetulan, dia mendapatkan kursi kosong di sebelah seorang nenek yang berumur sekitar 70-an awal. Syukur, rezeki pagi hari.
Eh, nenek sebelah Silvi menyapa. “Pagi, Mbak.”
Tentu, sebagai perempuan yang bertata krama, dia perlu menjawab sapaan itu dengan sopan dan menyenangkan. “Pagi, juga, Mbah. Mbah mau kemana, ik?”
Diawali dengan dengan sapaan itu, obrolan Silvi dan si nenek bergulir lancar sampai si nenek menanyakan hal yang agak sensitif buat Silvi.
“Mbak nggak kerja? Tahu, ‘kan, zaman berkemajuan kayak gini akhirnya kesetaraan gender juga meluas di bidang profesi-profesi?” tanya si nenek.
Tentu, berhadapan dengan pertanyaan begitu, Silvi hanya bisa menyunggingkan senyum canggung sambil berkata, “Hehe, alasan saya begini ada, deh, Mbah. Panjang nanti kalau diceritain. Tuh, tujuan saya juga udah hampir sampai.” Akhirnya, Silvi menyampaikan salam perpisahan kepada si nenek, dan dengan segera keluar sambil mendorong kereta bayi dimana Bayu tengah tertidur pulas, berharap pertanyaan nenek tadi tidak berhinggap lama di otaknya.
Untung, seperti tebakannya, supermarket masih sepi. Tidak mau kehabisan, Silvi segera ke bagian buah-buahan dan sayuran yang didiskon. Ada macam-macam : pisang, apel, jeruk, pir, buah naga, alpukat, wortel, selada, cabai, timun, dan, lain-lain ; seperti pelangi saja. Si ibu ini membeli pisang, buah naga, alpukat, dan selada, tentunya, setelah meneliti dengan cermat apakah hasil bumi yang akan dia beli ini masih segarkah atau tidak. Hei, bisa saja, bukan, pihak supermarket menyembunyikan kedok busuk di balik diskonan ini?
Hmm…beli yoghurt dan keju boleh, nih. Udah lama nggak beli, kan? pikir Silvi. Akhirnya, dia beli juga olahan susu itu. Beras? Big no! di toko Bu Fitri masih ada. Susu bayi? Kemarin baru saja beli.
Sepenjuru penglihatan Silvi, nampaknya hanya dia yang berbelanja saat ini. Yang lain, roboooot semua. Robot pembantu. Lho, memang kenapa? Pada bekerja, lah. Silvi jadi teringat kata-kata yang terngiang tadi, yang ingin sekali dia lupakan : kesetaraan gender meluas di bidang profesi-profesi. “Kisitiriin gindir miliis di biding prifisi-prifisi. Sialan, ingin sekali aku melupakan kata-kata itu,” dengus Silvi.
Sampai di rumah, tentu Silvi tidak bisa leha-leha saja. Setelah ganti pakaian dengan baju rumah, dia harus menata rumah dan mengerjakan tugas ini-itu. Memang, ada Nona Saras, robot-wanita asisten rumah tangga yang berwarna putih metalik buatannya yang bisa membersihkan rumah dengan maksimal dalam sekejap mata. Tapi bagi Silvi dan Irawan, suaminya, rumah yang bersih dengan tangan manusia
terasa lebih berkesan dan nikmat.
Silvi ingin menata kamar dan gudang. Dia memerintahkan Nona Saras hanya diminta menemaninya saja, meskipun Nona Saras beberapa kali “memaksa” Silvi untuk menyuruhnya bekerja. Silvi bersikeras untuk mengerjakannya sendiri. Setelah semua beres, Silvi senang. “Haaaah… enaknya peluh sendiri.”
***
Sabtu sore, saat Irawan, suami Silvi, perlu pergi ke Medan untuk bertemu dengan kliennya secara langsung, Silvi berbincang-bincang sore dengan Wati di teras rumahnya. Ditemani sepiring pisang goreng nikmat dan dua cangkir teh melati hangat. Mereka mengobrol apa saja : politik, lah ; kehidupan sehari-hari, lah ; fesyen, lah ; percintaan (eh?) ; hingga sesuatu “itu”, lagi. Yang buat Silvi agak sensitif bila ditanyakan.
“Jadi, kenapa, sih, Mbak Silvi berhenti dari pekerjaan kreator robot?” tanya Wati. “Itu hebat, lho, Mbak. Kecakapan pekerjaan Mbak bisa aku lihat dari Nona Saras. Mbak masih muda, dan kemungkinan besar karier Mbak bakal cukup cerah, lho di masa depan.”
Silvi mengembuskan napas. Jadi, apa jawabannya?
“Wati,” Silvi memulai kata-katanya. “Bukankah perempuan berhak memilih? Nah, ini pilihanku. Jadi ibu rumah tangga biasa. Aku pingin melihat, merawat, dan menjadi bagian bersejarah di segala jenjang kehidupan Bayu, yang selalu berkembang setiap saatnya. Juga menikmati rasanya berkarya di rumah dan merenungi segala sisi kehidupan yang terjadi pada diriku dan keluargaku. Ini terasa menenangkan sekali di pikiranku. Mungkin, iya, aku bisa menjadi perempuan karier, tapi bagiku ini yang terbaik buatku. Mengabdi pada keluargaku sudah kuanggap sebagai prestasi tersendiri buatku. Kalau buat kamu meraih karier tinggi adalah sebuah prestasi, maka capailah. Ikutilah kata hatimu secara bijak. Itu yang terpenting.”
Eh, tiba-tiba Nona Saras masuk. “Bukankah perempuan memang harus menentukan prestasi dan kata hatinya sendiri untuk masa depan, Mbak-Mbak?” kata Nona Saras. Mendengar pesannya, Silvi dan Wati hanya bisa tertawa.
Story by: Sani Akbar