SEBIRU LANGIT IMPIAN (CERPEN)

Di Ufuk timur langit Sumatera sang mentari telah menampakkan cahayanya dengan diiringi suara kokokkan ayam jantan yang bertengger di atas batang kayu besar. Pagi hari yang semoga membawa hal baru dalam hidup. Seperti biasa sebelum berangkat sekolah aku terlebih dulu membantu Mamakku menyiapkan sarapan di dapur. Meski dengan lauk seadanya kami tetap bersyukur bisa makan pagi ini.

Selesai sarapan aku berpamitan kepada Bapak dan Mamak untuk berangkat ke sekolah. Jarak rumah ke sekolah cukup jauh, aku harus melewati sungai kecil dan juga hamparan sawah. Meskipun demikian, aku tidak pernah putus asa demi mendapatkan ilmu. Namaku Namura, putri satu-satunya dari keluarga Bapak Sadan dan Mamak Midah. Saat ini aku duduk di kelas 6 Sekolah Dasar. Setelah lulus nanti, aku ingin sekali melanjutkan sekolah ke kota. Di desaku memang tidak ada sekolah lanjutan. Siapapun yang ingin melanjutkan sekolah harus pergi ke kota agar bisa melanjutkan sekolahnya. Namun hal itu selalu ditentang oleh Bapakku. Bapakku selalu berpendapat bahwa perempuan tidak pantas sekolah tinggi, perempuan hanya pantas bekerja di dapur dan mengurus rumah tangga. Aku dan Mamak tidak pernah setuju dengan hal itu. Mamaku ingin sekali aku melanjutkan sekolah ke kota. Ia tidak mau nasibku sama seperti Mamak yang tidak mengenyam bangku pendidikan karena keterbatasan ekonomi.

“Sudahku katakan, aku tidak akan mengizinkan Mura melanjutkan sekolah” nada suara Bapak yang terlihat marah kepada Mamak, setibanya aku di rumah.

“Aku hanya ingin putri kita menjadi anak yang pandai, sekolah tinggi. Tidak seperti Mamaknya yang tidak sekolah.” Sambil menahan tangisnya.

“Untuk apa Namura sekolah tinggi-tinggi hah? Dia tetap saja akan menjadi sepertimu, bekerja di kebun, di dapur dan juga mengurus rumah tangga, tidak ada gunanya.” Bapak kembali membentak Mamak yang masih terisak menangis lantas meninggalkan aku dan Mamak. Aku langsung memeluk Mamak dan ikut menangis.

Malamnya ditemani lampu yang redup aku bersiap belajar untuk persiapan ujian yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Tiba-tiba aku teringat kata-kata bapak tadi siang. Mama menghampiriku.

“Ma, apa benar yang dikatakan Bapak tadi siang, anak perempuan tidak pantas sekolah tinggi?” aku mulai menanyakan kegelisahanku kepada Mamak.

“Jangan dengarkan perkataan Bapakmu, semua itu tidak benar. Perempuan juga harus sekolah tinggi. Kau belajar yang rajin agar bisa melanjutkan sekolah ke kota, itukan yang kau inginkan? Mama akan selalu mendukungmu.” Mama memang selalu memberiku semangat agar bisa melanjutkan sekolah yang lebih tinggi dan menggapai cita-citaku.

Pagi harinya ketika aku hendak berangkat ke sekolah tiba-tiba Bapak melarangku.

“Kau tidak perlu berangkat sekolah hari ini, pergilah ke ladang bersama Mamak.”

“Tapi Pak, sebentar lagi aku akan melaksanakan ujian. Aku harus terus berangkat sekolah agar tak tertinggal pelajaran” Aku berusaha membujuk bapak agar mengizinkanku berangkat sekolah.

“Aku tidak peduli, kau tidak kasihan kepada Bapak dan Mamak? Bapakmu ini sedang sakit, sedangkan Mamakmu bekerja sendirian. Apa kau tak kasihan melihatnya?” Bapak tidak mau mempedulikanku.

“Tidak, Namura tidak perlu membantuku. Biarkan dia sekolah.” Mamak yang tengah bersiap pergi ke ladang langsung ikut dalam percakapan membelaku. Tetapi percuma saja, Bapak tidak mengizinkanku pergi ke sekolah. Aku memutuskan untuk tidak berangkat sekolah meskipun Mamak menyuruhku untuk tetap berangkat.

“Mura, kenapa kau tidak pergi sekolah hari ini?” Lasma salah satu teman sekolahku datang ke rumah.

“Tidak Lasma, aku tidak diizinkan sekolah oleh Bapakku.”

“Sebentar lagi kita melaksanakan ujian kelulusan, mengapa Bapakmu tidak mengizinkanmu sekolah?” 

Aku hanya menggelengkan kepada. Aku memang tidak mengerti kenapa Bapak tidak mengizinkanku pergi sekolah dan bercita-cita tinggi. Padahal aku ingin sekali sekolah tinggi demi mencapai cita-citaku menjadi seorang guru.

Lima hari aku tidak berangkat sekolah, akhirnya bu guru datang ke rumahku.

“Tolong Pak, izinkan Mura untuk berangkat kembali ke sekolah. Sebentar lagi ujian kelulusan. Dia harus mengikuti ujian itu, kalau tidak Mura tidak bisa lulus.” Ibu guru membujuk bapak agar aku bisa kembali ke sekolah.

“Untuk apa? Biarkan saja Mura tidak mengikuti ujian lalu dia tidak lulus. Saya tidak perlu membiayainya sekolah.” Bapak tidak suka ibu guru datang ke rumah kami.

“Begini Pak, Mura ini anak yang pandai lagipula sekolahnya hanya beberapa hari lagi setelah selesai melaksanakan ujian, Mura tidak usah lagi berangkat sekolah. Kecuali memang Mura ingin melanjutkan sekolah ke kota.” Ibu guru kembali membujuk Bapak. Meskipun tadinya Bapak melarang keras, namun akhirnya ia mengizinkanku berangkat sekolah.

      Keesokan harinya aku kembali berangkat ke sekolah tentu saja atas izin dari Bapak. Untuk mengisi ketertinggalan pelajaran selama aku tidak berangkat sekolah, Bu Angita bersedia memberi pelajaran tambahan selepas pulang sekolah. Bu Angita adalah guru yang selalu membimbingku dan selalu memberiku semangat dalam meraih cita-cita.

“Bagus Mura, cepat sekali kau memahami pelajaran yang ibu ajarkan. Kau bisa mengejar ketertinggalan selama tidak masuk skolah.”

“Terima kasih Bu, Ibu sudah bersedia membimbingku.”

“Tentu saja, sudah tugasku menjadi seorang guru untuk membimbing muridku agar menjadi pintar.” Bu Anggita memang sangat baik hati kepada semua muridnya terlebih lagi kepadaku. Beliau adalah guru perempuan satu-satunya yang berasal dari Jawa yang dipindah tugaskan ke Sumatera. Awalnya Bu Anggita tidak diizinkan menjadi seorang guru oleh ayahnya terlebih lagi harus ditugaskan di luar Jawa. Namun akhirnya ayah Bu Anggita mengizinkannya dan akhirnya menikah dengan orang Sumatera. 

“Mengapa Bu Anggita ingin sekali menjadi seorang guru?” tanyaku penasaran.

“Ibu ingin sekali menjadikan anak-anak Indonesia menjadi pintar, Ibu juga ingin membuktikan bahwa seorang perempuan bisa menjadi seseorang yang berguna, tidak selalu dipandang lemah.” Begitulah penjelasan yang disampaikannya.

“Mura juga ingin menjadi seorang guru, sekolah tinggi, agar bisa membahagiakan Mamak, dan membuktikan kepada Bapak bahwa perempuan tidak mesti harus bekerja di dapur dan mengurus rumah tangga. Mura tidak ingin perjuangan R.A Kartini yang telah memperjuangkan kaum perempuan ini sia-sia.” Jelasku.

Hari demi hari berlalu. Ujian kelulusanpun telah aku jalani, saatnya mengtetahui hasil belajarku selama ini. Tak pernah aku sangka sebelumnya ternyata aku lulus dengan nilai terbaik, Mamak sangat senang mendengarnya, tapi Bapak?

“Pak, lihatlah anakmu lulus dengan nilai terbaik di sekolahnya.” Ibu menunjukkan hasil belajarku kepada bapak. Tapi bapak sama sekali tak mempedulikannya.

“Tidakkah kau ingin melihatnya, sedikit saja menghargai usaha anakmu ini. Dia sudah susah payah belajar untuk mendapatkan nilai ini demi membanggakan kedua orang tuanya.” Ibu mengikuti langkah Bapak yang hendak kembali ke kamarnya. Sedangkan aku hanya bisa menangis di dalam kamarku.

“Aku sama sekali tidak menyuruh dia untuk belajar, dia hanya seorang perempuan. Dia tidak membuatku bangga. Meskipun nilai ujiannya bagus tetap saja seorang perempuan tidak akan sukses di kampung kita, dia hanya akan bekerja di dapur.” Bapak sama sekali tidak bangga kepadaku.

“Tidak, Mura akan menjadi perempuan yang sukses. Dia akan selalu menjadi kebanggaanku.” Suara Mamak terdengar serak menahan tangisnya.

Keesokan harinya Bu Anggita beserta Pak Rahmat kepala sekolah di tempat aku sekolah mendatangi rumahku. Ibu mempersilahkannya duduk di teras depan rumah. Aku yang saat itu baru aja pulang dari sungai untuk mengambil air langsung menghampiri mereka.

“Jadi begini Bu, maksud kedatangan kami kemari, kami ingin menyekolahkan Mura ke sekolah yang ada di kota karna Mura ini anak yang pandai, sayang sekali jika sekolahnya tidak dilanjutkan.” Pak Rahmat langsung memulai pembicaraan.

Aku dan Mamak sangat senang sekali mendengarnya. Keinginanku akhirnya bisa terwujud. Sontak Bapak yang mendengarnya langsung keluar dari dalam rumah. “Saya tidak akan mengizinkan Mura untuk melanjutkan sekolahnya. Lulus sekolah dasar saja itu sudah cukup.” Lagi-lagi Bapak tak mengizinkanku.

“Tapi Pak, Mura ini anak yang pandai dia harus melanjutkan sekolah. Dia harus menggapai cita-citanya, kami yang akan menanggung biaya sekolahnya.” Bu Anggita ikut berbicara.

“Saya ini Bapaknya, saya tahu apa yang terbaik untuk anak saya. Jadi silahkan Bapak dan Ibu pergi dari sini.” Tegas Bapak. Pak Rahmat dan Bu Anggita tidak dapat lagi membujuk bapak. Akhirnya pupus sudah harapanku untuk bisa melanjutkan sekolah ke kota. Semuanya hanya tinggal angan-angan. Aku tak bisa berbuat apa-apa hanya bisa menangis.

Selepas Pak Rahmat dan Bu Anggita pergi, Bapak dan Mamak kembali bertengkar. “Apa kau tidak bisa mempertimbangkan kembali keputusanmu itu? Kau tidak kasihan melihat Mura yang begitu sedih mendengarnya.” Mamak tidak pernah bosan membelaku. “Sudah ku katakan aku tidak akan mengizinkan Mura bersekolah, dia tidak akan menjadi apa-apa.” Keputusan Bapak tidak dapat diganggu gugat lagi.

Mamak kemudian mengakhiri pertengkaran itu dan menghampiriku di kamar. “Maafkan Mamak, Mamak tidak berhasil membujuk Bapakmu.” 

“Tidak apa-apa Ma, Mura akan menerima semua keputusan Bapak. Mura akan mengubur semua impian itu.” Aku pasrah dengan semua keputusan itu.

Setahun kemudian setelah permasalahan itu, aku mulai sedikit melupakan semua impian dan cita-citaku. Meskipun tidak seutuhnya aku lupakan, masih ada sedikit harapan untuk bisa menggapainya. Hari-hariku diisi dengan membatu Mamak di dapur, mengambil air di sungai, dan sesekali membantu Bapak yang sekarang sudah mulai bekerja lagi setelah sakit.

Tiba-tiba suatu hari ada seorang laki-laki seumuran dengan Bapak beserta seorang gadis yang nampaknya juga seumuran denganku. Sepertinya mereka seorang ayah dan anak, tapi untuk apa mereka datang ke rumahku? Bapak sepertinya sudah akrab dengan dia. Aku kemudian membawakannya minuman dan makanan kecil seadanya.

“Apakah ini anakmu Sadan?” orang itu bertanya kepada Bapak.

“Benar sekali, ini anakku. Mura ini teman Bapak sewaktu Bapak bekerja di kota dan ini Fira anaknya.” Bapak memperkenalkannya kepadaku. Aku kemudian tersenyum ramah. 

“Waah sepertinya kalian seumuran ya. Kau sekolah dimana Nak?” Bapak itu menanyakan sekolahku. Aku langsung menunduk.

“Dia tidak sekolah Alan. Dia hanya di rumah saja membantu Mamaknya di dapur.” Bapak yang kemudian menjawabnya.

“Kenapa kau tak menyekolahkannya hah? Gadis seumuran dia harus sekolah, bukan malah kau suruh dia bekerja di dapur.” Pak Alan kemudian bertanya dan sedikit memaki Bapaku.

“Aahh.. aku tak ada uang untuk menyekolahkannya, lagi pula bagi kami sudah cukup hanya lulus sekolah dasar.”

“Kau ini benar-benar keterlaluan Sadan, kalau begitu biar aku yang akan menyekolahkan dia. Kau sudah banyak membantuku dulu, sekarang biarkan aku membalasnya.” Aku langsung terkejut mendengar kata-kata itu.

“Sudahlah Alan tidak perlu, aku sudah melupakan semua itu aku ikhlas membantumu.” Bapak awalnya menolak tawaran itu.

Bapak akhirnya membicarakannya dengan Mama. “Benarkah itu, Alan ingin menyekolahkan putri kita?” Mamak berusaha memastikan bahwa semua itu benar.

“Ya benar, Alan adalah sahabat baikku. Kali ini aku tidak bisa menolaknya, dia memaksaku untuk menerima tawaran itu.” Bapak menyetujui meskipun karena paksaan, tapi Bapak kemudian sadar bahwa impianku selama ini telah ia halangi. Sebenarnya Bapak hanya tidak ingin kehilangan putri satu-satunya ini. Bapak akhirnya mengizinkanku melanjutkan sekolah ke kota bersama Pak Alan dan Fira yang sekarang sangat akrab denganku.

Keesokan harinya Pak Alan kembali datang bersama Fira untuk menjemputku. Aku bersiap untuk berangkat dan berpamitan kepada Bapak dan Mama.“Jaga dirimu baik-baik! Impianmu sekarang jadi kenyataan. Jadilah perempuan yang selalu menjadi kebanggaan, selalu rendah hati, seperti ibu Kartini.” Mamak berkata sambil meneteskan air mata tanda bahagia. Aku mengiyakan semua itu.

Aku berjanji akan  mengingat selalu nasihat Mamak, perempuan yang tak kenal lelah memberi semangat, yang selalu ada di sampingku ketika langit impian itu tak lagi membiru.

Story by
Apriliaela Ela Ria Apriliani

Leave a Reply