Perlawanan Laksmiwati (Cerpen)

Detak jantungnya semakin cepat, keringat mulai membasahi tubuh mungilnya. Dalam ruangan yang sempit dan lembab itu ia harus bertarung dengan nasib yang Tuhan tuliskan pada garis tanggannya. Tubuh mungilnya yang terlentang di atas kasur tak dapat bergerak. Namun, ia dapat merasakan rasa sakit yang membuat darahnya menjerit begitu hebat. Ia tetap diam sebab ia tak dapat melawan. 

Bibir lelaki itu mulai singgah di tubuhnya, ia dapat merasakan bibir kering itu bersentuhan dengan kulitnya. Tangan lelaki itu menggeliat, meremas tubuhnya dengan kasar, disusul erangan yang semakin membuat jiwanya meronta. Namun, tubuhnya tetap diam sebab  ia tak dapat melawan. Lelaki itu memeluk tubuhnya, melumat kasar bibir mungilnya. 

Nyala lampu pijar, yang menjadi satu-satunya cahaya dalam hidupnya mulai redup, ia dapat merasakan kegelapan dan lembab ruangan itu mendekap tubuhnya. Dipandanginya Tuhan dan malaikat yang duduk di sudut ruangan, memandangi tubuhnya. “Jangan kalian pandangi aku yang hina ini,” katanya dalam hati. Ia tahu ratusan benih lelaki telah teranam dalam rahimnya. “Sampai kapan jiwaku dipasung begini?” tanyanya, tubuhnya yang mungil itu meringkuk dalam dinginnya malam. Tuhan dan malaikat tetap diam di sudut ruangan, bibir mereka terkatup, tetapi ia dapat melihat air mata membasahi wajah Tuhan. 

**********

“Ibu tidak punya pilihan lain,” wanita berusia 30 tahun itu sibuk merias wajah mungil Laksmi. Laksmi hanya diam sebab ia tahu ibunya akan memukulnya apabila ia menjawab. “Apa kau tahu, tubuhmu yang mungil ini seharga sapi milik Pak Suhud?” tangan wanita itu mencengkram kedua pipi Laksmi dengan kasar. “ Uang itu bisa kita gunakan untuk membayar kontrak selama 3 tahun lamanya,” ia melipat jarinya  menunjukkan angka tiga. 

“Mulai malam ini, kau akan jadi wanita paling bahagia di dunia,” tangannya kini sibuk menyisir rambut Laksmi. “ Kau akan merasakan rasa sakit, namun rasa sakit itu hanya sementara.” Laksmi tetap diam, wanita itu menaruh sisirnya lalu memasang pita putih di paha mungil Laksmi. “ Kau akan menikmatinya sayang.” Laksmi tetap tak mengerti apa yang dikatakan ibunya, yang ia tahu sejak malam ini ia tak akan lagi tidur bersama dengan ibunya. 

Hingga malam itu tiba, dimulailah segala penderitaan dalam hidup Laksmi. Lelaki tu menghabisi tubuh mungilnya, darah segar mengalir dari selangkangannya membasahi pita putih yang melingkar pada pahanya. Tubuh mungilnya tak dapat melawan, ia menjerit. Air mata, keringat, dan darah membasahi kain seprai yang sudah mulai menguning. Ibunya berbohong, ia tak merasakan kenikmatan, melainkan belati yang mengujam dan merobek jiwanya. Ratusan belati itu menyisakan luka yang dalam pada seorang Laksmi yang berusia sembilan tahun. Ia belum sempat merasakan datang bulannya yang pertama dan darah telah mengalir lewat selangkangannya. 

Sejak malam itu ia membenci segala yang ada padanya. Ia membenci Tubuhnya. Ia membenci dirinya yang tak dapat melawan dan memberontak. Ia membenci terlahir sebagai seorang perempuan.

**********

Tubuh Laksmi terlentang di atas kasur, cahaya matahari menyelinap lewat jendela kecil tanpa kaca yang ditutupi oleh potongan besi. Sejak lelaki itu pulang ia tidak bisa tidur. Beberapa kali ia mencoba memejamkan matanya, beberapa kali bibirnya melantunkan ayat-ayat suci, tetap matanya tak dapat terpejam. Ia sendiri bahkan tak lagi dapat membedakan siang dan malam. Setiap detik yang ia lalui hanya mimpi buruk, sama seperti ketika ia memejamkan matanya. 

Terdengar suara ketukan pintu. “Turunlah kebawah, sudah aku siapkan sarapan untukmu, setelah sarapan jangan lupa kau basuh tubuhmu!” Laksmi hanya diam tak bergerak. Ia tak lagi menghiraukan suara ibunya itu. Suara wanita yang telah mencampakkannya dalam kehinaan, yang pedihnya tak dapat dirasakan oleh siapapun selain oleh dirinya. 

Hari-hari berjalan begitu cepat, para lelaki datang silih berganti dalam hidupnya dan meninggalkan jejak pada tubuhnya. Laksmi tumbuh sebagai gadis dengan jiwa yang terpasung dalam kehinaan. Ia tak dapat melakukan apapun sebab kehinaan yang ada pada dirinya membuat ia dibenci oleh sesamanya manusia. Manusia mahluk ciptaan Tuhan. Mahluk yang menganggap diri mereka sebagai sosok yang sempurna dan bermoral dari mahluk lainnya dengan merajam para pelacur dan membiarkan para lelaki hidup, menanamkan benih mereka tanpa kehinaan. 

Tubuhnya yang mungil itu mulai beranjak dari kasur. Digapainya sebotol cairan yang terletak di atas lemari. Cairan pembersih lantai itu sengaja ia letakkan disana. Ia melihat Tuhan dan malaikat muncul di hadapannya. “Biarkan aku melawan,” katanya. “Biarkan cairan ini membebaskan jiwaku yang terpasung dalam segala kehinaan yang telah kau tuliskan dalam hidupku.” Tuhan dan malaikat tetap diam, mulut mereka terkatup.  Diteguknya cairan itu sampai habis, tubuh mungilnya rubuh ke lantai.

Matanya belum terpejam, Laksmi belum pergi, dipandanginya wajah Tuhan. Wajah yang selama ini ia kenal dalam lantunan ayat suci yang ia ucapkan dari bibirnya. Wajah yang selalu muncul ketika ia harus berhadapan dengan penderitaan-penderitaan yang singgah setiap malam. Tuhan yang ia kenal, Tuhan yang ia sebut di dalam doa dan yang ia sembah di dalam segala kehinaan jiwa dan najis yang menempel di tubuhnya. Tuhan yang menakdirkan dirinya terlahir sebagai seorang perempuan. 

Kini Laksmi mulai melihat Tuhan berbicara kepada dirinya. “Laksmiku, kekasih jiwaku, biarkan aku mencintaimu dalam segala kehinaan yang ada padamu. Biarkan aku yang menanggung segala penderitaan yang membuat jiwa dan ragamu terbelenggu.” Air mata Laksmi mulai mengalir bersamaan dengan air mata di wajah Tuhan. Mata Laksmi mulai terpejam, kini rantai yang telah membelenggunya telah lepas. Laksmi telah hidup sebagai perempuan yang terbebas dari segala penderitaan dan ketidakadilan.

Kembali terdengar suara ketokan pintu “Buka pintunya Laksmi!” teriak ibu Laksmi. Diam tak ada suara yang menjawab. “Buka pintunya atau ibu akan menjualmu kepada Soni, agar kau menjerit kesakitan!” Ibu laksmi memaksa membuka gagang pintu. Namun, tetap tidak ada jawaban.

 Dalam kematian Laksmiwati telah menemukan kebebasan. 

Story by: Ruth Patricia

Leave a Reply