Monthly Book Review #2: “Prom and Prejudice” Karya Elizabeth Eulberg
Saat membaca judulnya, langsung teringat dengan novel Inggris klasik karya Jane Austen, ya? Novel ini dapat dibilang sebagai versi “modern”-nya yang juga merupakan adaptasi dari cerita Pride and Prejudice (1813). Kalimat pertamanya yang disuguhkan dalam novel Prom and Prejudice (2011) pun ditulis serupa dengan kalimat pertama dalam novel Pride and Prejudice (1813), yaitu:
“[i]t is a truth universally acknowledged, that a single girl of high standing at Longbourn Academy must be in want of a prom date.”
“Bukan rahasia lagi bahwa cewek jomlo dengan reputasi baik dari akademi Longburn pasti diincar sebagai pasangan pesta dansa.” (Eulberg, 2012: 1)
“It is a truth universally acknowledged, that a single man in the possession of a good fortune, must be in want of a wife.”
“Sudah menjadi rahasia umum bahwa seorang pemuda kaya tentu ingin mencari istri.” (Jane Austen)
Prom and Prejudice (2011) bercerita mengenai Elizabeth “Lizzie” Bennet yang dapat mengenyam pendidikan di sekolah prestisius khusus putri, Akademi Longburn, dengan beasiswa musik. Lizzie sangat piawai memainkan piano, ia bahkan dapat memainkan musik dengan tingkat kesulitan yang tinggi, Rhapsody on a Theme of Paganini karya Rachmaninoff saat masih SMA disaat pianis idolanya baru menguasai lagu itu di bangku kuliah. Murid yang berstatus “anak beasiswa” kurang mendapatkan tempat dalam pergaulan di sana. Murid-murid di Akademi Longburn berasal dari keluarga berada. Itu sebabnya Lizzie menjadi sasaran empuk untuk ditindas. Untungnya Lizzie memiliki sahabat karib di sana yang bernama Jane.
Sampul Buku Prom and Prejudice dalam Bahasa Inggris
Pesta dansa merupakan acara yang ditunggu-tunggu oleh murid Akademi Longburn. Mereka akan memesan gaun karya desainer kenamaan dan merias dirinya seelok mungkin. Pesta dansa juga menjadi ajang perkenalan atas pasangan mereka yang berasal dari Pemberley School–sekolah elit khusus laki-laki. Tetapi Lizzie tidak tertarik sama sekali dengan acara pesta dansa tersebut. Dari pada memikirkan pesta dansa, ia lebih memilih untuk fokus berlatih piano.
Jane menyukai laki-laki dari Pemberley School yang bernama Charles Bingley. Ia ramah dan hangat, bahkan dengan Lizzie yang anak beasiswa sekalipun. Namun temannya yang bernama Will Darcy seperti kebalikan dari Charles dengan sifatnya yang dingin dan misterius. Will Darcy sering kali membuat Lizzie kesal dan naik pitam. Namun sifat Darcy yang terkesan angkuh dan dingin merupakan daya tarik tersendiri.
Karena novel ini merupakan versi kontemporer dari Pride and Prejudice (1813), bahasa yang digunakan juga tidak baku dan santai, juga ceritanya dekat dengan kehidupan remaja. Ceritanya khas remaja namun mengangkat permasalahan lain seperti bullying, hubungan pertemanan, dan keluarga.
Karakter favorit saya dalam novel ini adalah Lizzie karena dia merupakan sosok pekerja keras. Ia bekerja paruh waktu, belum lagi membagi harinya untuk belajar dan berlatih piano. Bagian yang paling saya suka dari novel ini adalah saat Lizzie dapat menonton resital piano pianis favoritnya di Carnegie Hall dan saat Lizzie tampil memainkan piano membawakan Rhapsody on the Theme of Paganini di sekolahnya.
Saya merekomendasikan buku ini untuk orang-orang yang menyukai genre romantis, remaja, dan yang penasaran dengan cerita versi modern dari novel klasik Pride and Prejudice (1813). Ceritanya ringan dan dapat diselesaikan dalam sekali duduk, apalagi ceritanya yang membuat penasaran mengenai sifat Darcy dan masa lalu Wick membuat saya terus-menerus membalikkan halaman bukunya.
1 Comment
Join the discussion and tell us your opinion.
[…] kepada Lizzy. Ohiya, sebelumnya Bookish Journal juga sudah pernah mengulas novel ini. Klik di sini untuk membaca ulasannya […]