Menjadi Perempuan (Cerpen)
Aku pernah mengeluh, mengapa aku lahir sebagai perempuan?
Aku tidak suka dianggap lemah. Aku ingin menjadi laki-laki yang seringkali dianggap kuat dan mampu melakukan segala pekerjaan berat. Mungkin laki-laki bisa menggantikan beberapa pekerjaan perempuan, tetapi jarang sekali perempuan yang melakukan hal yang sama.
Namun, aku sering mendengar bahwa perempuan adalah orang yang kuat. Sewaktu kecil, mereka diajari untuk melakukan hal-hal semacam memasak alias urusan dapur agar nanti bisa siap menjadi seorang ibu. Dan setelah menjadi seorang ibu, perempuan akan mengandung, mengasuh, dan membesarkan seorang buah hati bersama suami. Perempuan juga menjadi tempat bersandar ketika suami lelah bekerja. Dan … ah, banyak sekali peran seorang perempuan dalam hidup.
Kalau dipikir-pikir, benar juga.
Namun, tidak selamanya orang selalu berpikiran sama.
Menjadi perempuan itu tidak menyenangkan. Dia selalu dicocokkan dengan kata-kata lemah, terintimidasi, dan sebagainya yang membuatku muak. Juga, ada yang menganggap bahwa derajat perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Aku jadi ingat tentang orang-orang Arab di masa jahiliyah yang selalu mengubur bayi perempuannya hidup-hidup karena dianggap aib. Ya Tuhan, aku merasa miris ketika mendengarnya. Syukurlah, di zaman sekarang—semoga saja—tidak ada yang seperti itu.
Aku juga teringat dengan Raden Ajeng Kartini. Beliau perempuan yang hebat. Seluruh perempuan di Indonesia berutang rasa terima kasih kepada beliau atas emansipasi wanita yang dilakukannya. Karena beliaulah, derajat perempuan tanah air setara dengan laki-laki. Ya, meski ada beberapa laki-laki bodoh yang masih suka menindas dan masih berpikir bahwa perempuan adalah makhluk lemah.
Oh, ada satu hal lagi yang membuatku benci lahir menjadi seorang perempuan; pelecehan seksual. Tidak hanya laki-laki, beberapa perempuan juga sering menjatuhkan saudaranya sendiri. Miris sekali.
Aku punya teman, namanya Keisha. Saat ini, kami berencana untuk bertemu di salah satu kafe dan aku sedang menunggunya. Sembari menunggu, ingatanku berputar pada kejadian lima tahun yang lalu; masa-masa kelam Keisha yang saat itu berumur delapanbelas tahun.
Waktu itu, ketika matahari hampir saja menenggelamkan diri di ufuk barat, aku sedang menenteng hasil belanjaan dari minimarket. Saat sebentar lagi sampai ke rumah, aku melihat seorang perempuan yang rambutnya acak-acakan dan sebagian menutupi wajah. Dia berlari dengan kaki yang berlari patah-patah, hampir saja terjerembap ke tanah.
Aku melihat wajahnya sekilas. Perempuan itu mirip sekali dengan Keisha, salah satu teman di kampusku. Keisha adalah salah satu model di sebuah majalah dan pernah membintangi beberapa iklan. Dia cukup terkenal di kampus, tetapi namanya belum sebesar artis papan atas.
Tidak mungkin jika perempuan tersebut adalah Keisha. Mungkin, hanya wajahnya yang sedikit mirip.
“Siapa yang menelepon malam-malam gini, sih?” gumamku sambil mengeluarkan ponsel yang bordering dari saku celana. Nama Keisha tertera di sana. Aku mengangkatnya, dan kemudian membulatkan mata ketika melihat perempuan yang rambutnya acak-acakan tadi berjalan mengarah padaku sambil menempelkan sebuah ponsel di telinganya.
“K-Keisha?” ucapku pelan.
Benar, dia Keisha. Dia meletakkan salah satu telunjuk di depan mulutnya, menyuruhku diam. Kemudian, tiba-tiba dia berdiri di sampingku. Punggungnya menempel ke dinding dan merosot. Kedua tangannya bergetar.
Aku menangkup kedua tangannya. Hatiku serasa teriris melihat kedua matanya yang terlihat kosong. “Kei, ada apa?”
Keisha melihatku. Aku yakin dia mendengarku, tetapi mulutnya tidak menjawab.
“Kamu baik-baik saja, kan?”
Setetes air mata luruh dari salah satu sudut matanya. Kepalanya menunduk, kemudian menggeleng pelan. Dengan terbata-bata, perempuan itu bilang bahwa dirinya hampir saja direnggut kehormatannya oleh salah satu teman kampus kami.
Ya Tuhan. Aku tidak bisa berkata-kata untuk sesaat.
Tanganku mengepal, tetapi melemah sesaat kemudian. Amarah yang menggebu-gebu untuk menuntut Keisha yang harusnya bertindak berani, sepenuhnya kutahan. Tidak, Keisha tidak salah. Gadis ini, aku harus memberi kekuatan padanya.
Keisha mulai menangis terisak.
Karena ketidaktahuanku tentang di mana rumah Keisha, aku akhirnya mengambil ponselnya, kemudian menghubungi salah satu anggota keluarganya. Sembari menunggunya datang, aku mengajak Keisha ke rumahku untuk menenangkan diri. Syukurlah, salah satu saudara Keisha yang beberapa menit lalun kuhubungi cepat datang menjemput.
Aku menghela napas. Semoga Keisha bisa melanjutkan hidup dengan baik-baik saja.
Aku sungguh membenci hal-hal tentang pelecehan. Ini menyebalkan. Pelaku-pelaku itu sangat kurang ajar! Aku tidak mengerti mengapa mereka tega melakukannya, padahal mereka juga lahir dari seorang perempuan.
***
Umur Keisha sekarang duapuluh empat tahun.
Mungkin tadi adalah salah satu kisah mengenai betapa kuatnya seorang perempuan.. Meskipun Keisha mengalami trauma, aku sungguh berharap dia perlahan bisa meminimalisir rasa traumanya sehingga masa depannya akan baik-baik saja.
“Hei, jangan melamun.”
Aku sadar bahwa Keisha telah datang. Kami pun memesan makanan. Tidak ada dari kami yang bicara sampai makanan kami hampir habis.
“Kei,” panggilku pelan.
Tangan Keisha yang sibuk merapikan piring dan gelas yang baru saja kami gunakan berhenti sejenak. “Apa?” tanyanya.
“Kamu … baik-baik saja, kan?”
Dia mematung. Hanya sekian detik, kemudian terbentuk lengkungan tipis di bibirnya. Mulai mengerti maksud pertanyaanku. “Iya, karena kamu.”
Aku mengerutkan kening. Apanya yang karena aku?
“Ya ampun, kalau saja kamu nggak datang waktu itu, mungkin aku sudah nggak ada di sini. Kamulah orang yang berhasil membuatku bertahan hidup.” Keisha masih mempertahankan senyum. “Mungkin keluargaku membuatku bertahan dengan membawaku ke seorang psikolog, tetapi kurasa … kamulah yang pertama membuatku yakin, bahwa aku harus tetap bertahan hidup, nggak boleh mati cuma gara-gara orang yang nggak bisa menghargai perempuan.”
Ah, aku mulai menyadari sesuatu.
Aku memang membenci yang namanya pelecehan, dan karena rasa benci itu, aku berusaha memberi kekuatan pada mereka yang menjadi korban. Salah satunya, Keisha.
Ternyata, saling menguatkan itu indah.
Jadi, aku tidak seharusnya benci menjadi perempuan.
Story by: Baihaqi Syarifah