Kenang 5 Karya Pamungkas dari Sastrawan Indonesia Arswendo Atmowiloto
Kabar duka datang dari sastrawan asal Indonesia, Paulus Arswendo Atmowiloto yang wafat pada usia 70 tahun. Arswendo berpulang dengan damai pada Jum’at pukul 17.50 WIB setelah berjuang melawan kanker prostat.
Arswendo yang juga dikenal sebagai wartawan ini punya segudang karya sastra yang cukup dikenal masyarakat Indonesia. Salah satu karyanya yang fenomenal yakni Keluarga Cemara.
Arswendo mulai merintis menjadi sastrawan sejak 1971. Sleko, sebuah cerpen yang kemudian dimuat dalam majalah Mingguan Bahari adalah karya pertamanya.
Semasa hidupnya lelaki kelahiran Surakarta, Jawa Tengah pada 26 November 1948 ini telah menulis banyak novel, puluhan artikel, dan cerita rohani. Diantara semua karya yang telah rampung, Bookish Journal telah merangkum 5 karya Arswendo sebagai pengingat bahwa walaupun raganya telah pergi, namun karya-karyanya akan selalu dikenang.
1. Keluarga Cemara
Cerpen Keluarga Cemara mulai ditulis saat dirinya menjadi pemimpin redaksi majalah HAI tepat pada tahun 1981 yang hanya berisikan 15 cerpen. Bercerita tentang keluarga yang beranggotakan Abah, Emak, dan tiga anak perempuan: Euis, Cemara, dan Agil.
Keluarga Cemara membahas tentang sebuah keluarga yang semula kaya raya, namun mendadak bangkrut dan harus hidup di desa dengan rumah warisan yang tampak sederhana.
Buku ini sudah beberapa kali dicetak ulang. Pertengahan 1990-an sampai 2000-an, cerita ini dikembangkan menjadi serial sinetron. Lalu, pada tahun 2018 Keluarga Cemara diadaptasi kembali menjadi film yang berhasil meraup 1 juta lebih penonton.
2. Canting
Novel Canting semula diterbitkan sebagai cerita bersambung di Harian Kompas dengan subjudul “Sebuah Roman Keluarga”. Canting adalah cerita tentang batik canting yang memiliki budaya yang tak terkalahkan. Karya sastra Canting ini juga menceritakan tentang seorang perempuan Jawa bernama Ni.
Novel yang terbit pada tahun 1986 ini berlatar sosial keluarga ningrat dan mengisahkan kehidupan keluarga Jawa yang teramat khas dengan simbol dan tradisi keningratan, filsafat, dan sikap hidup serta naluri-naluri tradisional yang makin terdesak oleh kemajuan zaman.
3. Imung
Imung adalah kisah cerpen detektif kecil yang terbit sebagai novel tahun 1987 dan diterbitkan ulang sebagai novel pada 2015.
Detektif kecil itu adalah Imung, putra seorang kopral polisi di Magelang. Dikisahkan, Imung memiliki bakat dan kepandaian dalam menuntaskan segala permasalahan yang ada, termasuk teka-teki dan misteri di hadapannya.
Melalui Imung, Arswendo ingin membuktikan bahwa dirinya bisa menulis sebuah kisah tentang detektif.
4. Rabu Rasa Sabtu
Rabu Rasa Sabtu menceritakan seorang gadis bernama Ayang yang menderita kelainan batuk. Sebenarnya karena dikutuk setiap kali dipeluk.
Nasib Ayang sungguh miris. Penyakit yang dideritanya menyebabkan satu persatu giginya copot, hingga akhirnya ia ompong. Pandangannya pun mulai kosong. Untuk mengganti giginya yang copot, dipasangkan gigi anjing. Akibatnya suara Ayang jadi melengking.
Kisah fiksi yang diterbitkan pada tahun 2015 ini bukanlah cerita sesungguhnya. Karena kejadian tersebut membentuk ceritanya sendiri. Setiap kata mengajak kata yang lainnya berdekatan untuk berusaha membentuk kalimat.
Pasti Bookish Journalers kebingungan dengan sinopsis Rabu Rasa Sabtu yang begitu rancu ini. Jemput segera bukunya yuk, biar langsung memahaminya.
5. Dua Ibu
Novel Dua Ibu yang terbit tahun 1981 mengangkat tema arti “ibu” bagi seorang anak, yakni sebagai ibu yang melahirkan, dan juga ibu yang merawat dan membesarkan.
Novel yang berlatar belakang seorang ibu dengan sosial ekonomi yang lemah, namun mengabdikan hidup kepada keluarga, termasuk membesarkan anak-anaknya meski ada yang bukan darah dagingnya.
Menurut Ensiklopedia Sastra Indonesia Kemendikbud, Arswendo menyatakan bahwa karyanya ini merupakan kisah kasih dan sayang, kisah perjalanan seks, kisah perkawinan, dan kisah kehidupan yang pendek (kematian).
Kisah ini juga mengajarkan bahwa ibu yang melahirkan belum tentu bisa menjadi ibu yang merawat.
Penulis: Ayu Pratiwi
Editor: B. Romansha