Arunika (Cerpen)

Tidak bersimpuh—juga tak berkutat dengan bilur. Sara bara tak kujeremba, apalagi berkelana. Orang memanggilku: Roem. Singkatnya, cerita pendek telah usai kutulis dalam amigdala pada masa berkabung. Bukan histori temaram, apalagi utopia. Namun, tak banyak yang menahu kehidupanku setelah kini dibawa seorang ke Belanda. Dunia rasanya tiada berjarak lagi—telah dihilangkan oleh penasaran. Aku tak tahu mana salahku. Aku sudah berusaha menjadi budak yang patuh pada tuannya. 

Hari tlah terlalu larut ‘tuk melancarkan aksiku. Abhati mentari tlah menampakan lembayung—jika tidak mana berani siang bolong mematut bahaya. Yang ada diseret di depan Tuan besar. 

Aku membungkuk untuk mengambil gulungan kecil yang biasanya ada dan diletakkan di lubang bulat binar  bagian belakang piedáterre milik suami Rousse. 

Pandanganku berlari kesana-kemari—menengok adakah yang memergoki aksiku. Bukan hal yang mudah ketika para penjaga setiap hari berkeliaran keliling bangunan dan tiba-tiba melihat aksi sangarku.

Ah, ada di sana. 

Rousse—sahabat perempuanku yang kini menjadi istri seorang pejabat Belanda—yang tak lain adalah anak majikanku—dan menjadi istri di kala delapan belas. Dia menjadi Madam dan telah merencanakan hal-hal keren setelah diputuskan berubahnya kehidupan dan status miliknya. Otaknya memang berbeda dengan sekian banyak otak pribumi.

Dia—Rousse—mengikuti sekolah atas permintaan suaminya. Perempuan yang kupastikan sekarang sedang tak dalam keadaan senang itu sering mengirimiku lembar catatan yang telah dipelajarinya. Ah, betapa baiknya dia.

Aku langsung beranjak ke dapur ketika telah mengambilnya. Tak lupa kusimpan di saku baju lusuhku. Ada perintah datang sepersekian detik setelah sampai di sana. Syukurlah, aku telah membenahi kegiatanku.

Secangkir teh putih—teh kehormatan. Siapa gerangan tamu Tuan yang berkunjung tengah malam? 

Tak berlama-lama, segera kuselesaikan tugasku dengan eunoia. Atau tidak, teh ini akan melipir ke bajuku tak lama setelah aromanya menusuk hingga ruang tamu.

Dengan menggunakan lutut sebagai alat berjalan menuju Tuan serta tamu Beliau, aku melangkah sebaik mungkin agar teh di nampan tak tumpah sedikitpun.Tentu dada ini menjadi gembung.

Tak berani kulirik siapa tamu Tuanku. Hanya saja, firasatku—yang terlalu kuat ini—menyatakan bahwa ada mata setajam elang yang tengah mencari celah untukku berbuat kesalahan. Aku tak perlu berlancang hati jika menganggap itu sebuah tatapan penasaraan apalagi pemujaan adanya.

Setelah gelas kuletakan di meja, sekarang tinggal menuangkan teh dari teko. Selesai, aku mengangguk sopan. Tentu masih menunduk. Sekali saja aku mengadahkan daguke mana mesti sembunyikan mukaku?

Sejak tadi kedatanganku, aneh baru dirasa, tak ada percakapan yang terjadi. Benar-benar hening. Namun, setelah aku pergi, telingaku yang lancang ini mendengar kembali mereka berbincang. Bersahutan menyebut nama ‘Gill’ dan nama Tuan besarku. Tak lama, jantung menggila ini terasa mendadak tak lagi berdenyut setelah mendengar lengking tawa yang menerbang begitu saja.

Ah, sudahlah. Kau tak ingin telingamu dipotong kan?

“ROEM! Apa kau tak memiliki telinga?!”

Astaga! Bentakan Tuan Gill benar-benar! 

Aku buru-buru menghadap padanya, menunduk sembah. Lamunanku di halaman tadi terlalu mengasikkan. Apalagi, Leiden memiliki pemandangan nan dahayu disempunakan oleh petrikor—aroma tanah kering setelah hujan. Namun, yang paling indah adalah bangsaku sendiri. Indonesia. Bangsa yang dianggap nirmala. Oh bukan, aku tidak membesar-besar—tapi memang benar dianggapnya.

“Lakukan terus atau saya kan jual kau,” desisan Tuan Gill membuatku merinding hebat. 

Diberikan kepada Tuan Gill lebih baik ketimbang dijual di negeri orang. Apalagi menghadapi kenistaan bertubi setelah penjajahan kaum Hindia yang entah kapan akan terucap ‘bebas’. Darah, tangis, keringat sudah diperas semenjak ruh ditiupkan oleh Tuhan. Atau, ketakutan yang terjadi pada seseorang yang tengah dijemput ajal mengingat akan terbang pada jiwa mana ruhnya bersarang. Mengingat tak ada seorangpun manusia yang ingin menderita. 

Nadiku diam membeku, mulutku biru membisu. Tak ada yang pernah memberitahuku bagaimana cara berbicara dalam Belanda. Tak pula ada penyesalan yang perlu dirudita. Hanya menunduk terdayuh dan merenung mala. Kerjaku menjadi diselingi lamunan semenjak sampai di Hindia. Seperti separuh nyawaku tertinggal di rumah sana. Atau, surat dari Rousse yang tak bisa kuterima lagi. Atau, mimpi yang membelenggu saat tengah bergerak maju.

Sudah beberapa bulan berada di Leiden. Sedikit banyak kuketahui karakter orang asli—yang belum pernah menengok kekejaman bangsanya sendiri kepada bangsaku.

Ah, sudahlah. Rancauan pikiran tak akan berbuah manis dari bibir sang Tuan.

Lakonku di sini hanya sebagai penyiap barang pribadi karena masing-masing mengerjakan satu divisi saja. 

 “Roem kamu dipanggil Nyonya Berth.”

Kupegang dada yang untung tak segera merosot ke perut. Aku tersenyum simpul, lalu mengangguk. Nyonya Berth adalah kepala pekerja. Tampangnya memang tak bersahabat, tetapi tak pernah memarahi bawahannya hanya karena ke-gila-hormat-an seorang atasan. 

Langkahku terhenti saat berada tiga kaki di depannya, menunduk. Kulihat Nyonya mengangguk. 

“Semua pekerja di sini adalah orang berpendidikan,” aku berfirasat buruk semi baik di kalimat ini, “untuk itu, kau wajib sekolah, biaya ditanggung Tuan. Dimulai besok, Roem.”

Aku ingin berteriak selagi meremas pelik. Sekolah? Aku, sekolah? Cercaan dan belungsang—kalimat yang sempat kuperkirakan keluar dari mulut Nyonya ternyata melenceng besar. Oh, ya. Dia bisa berbicara dalam tujuh bahasa di dunia, termasuk Indonesia.

Semua berawal dari sini. Akhirnya aku sekolah—tak kusia-siakan kesempatan. Walau hanya pelayan, pendidikan yang diberikan tidak tanggung-tanggung. Benar, pelajaran dari yang katanya kelas satu hingga jenjang paling tinggi.

Lima tahun bukan waktu yang sedikit. Aku bertemu sesuatu yang reswara—di perpustakaan. Tak lebih, hanya sebuku yang menjabarkan dengan halus kejamnya negara asal penulis kepada Permata Khatulistiwa. Netra dan runguku menangkap, banyak manusia kelahiran Belanda yang prihatin setelah membacanya. Namun, tak kusangka, mereka hanya menjadikannya bak kisah Romeo dan Juliet—yang bahkan lebih manis.

Tahun kesepuluh—berarti umurku sekarang 28 tahun. Kalian pun, tak sanggup membayangkan sampai di sini adanya. Jika ini kisah roman picisan, maka akan kuceritakan. Tapi lain kali. Takdirnya, Tuan Gill membawaku ke kehidupan yang selamanya menuntut kesetiaan—betah tidak betah adanya.

Pulang ke rumah—itu yang membuat batinku tergerak melakukan hal besar. Rumahku masih sakit, masih sangat membutuhkan pertolongan—setidaknya pendidikan yang menjadi infus di sana.

Tak ingin ada kesalahpahaman, aku meminta Gill—mendirikan sebuah sekolah di negeriku. Ada sedikit guncangan ketika akan mengatakan niatku, tetapi akhirnya jadi pula setelah negosiasi tingkat atas dengan suamiku sendiri.

Ya, aku bersembunyi selama melakukannya. Malam hari aku merangkap menjadi guru untuk wanita awam. Tentu menyenangkan bisa membuka mata hati lewat ilmu. Setidaknya, memberi harapan kehidupan selayak tanpa membabu.

Story by: Ninda Mustika

Leave a Reply