M̶U̶D̶A̶H̶ SULITNYA JADI IBU RUMAH TANGGA (Cerpen)
ulan purnama bersinar cerah di langit malam. Reyhan memarkir motornya di halaman, lalu masuk ke rumahnya. Samar-samar didengarnya suara anaknya menangis. Ia melepas sepatu, melempar ransel ke sofa.
“Nanda! Siapin makananku! Laper banget nih! Cepat!”
Istrinya datang tergopoh-gopoh sambil menggendong Ana, anak mereka yang masih bayi. “Mas Reyhan baru pulang? Aduh Mas, kamu ambil sendiri aja ya makanannya, aku sudah hidangkan di meja. Ana rewel banget hari ini, badannya panas!”
Reyhan hanya memutar mata, kesal. “Ya sudah.” Ia menghampiri meja dan mengangkat tudung saji. Dilihatnya sup daging dan semangkuk nasi. “Nanda!” Ia berteriak lagi. “Makanan apaan, kayak begini? Aku lapar banget, dan kamu cuma masak sup? Mana kenyang? Dasar istri pemalas!”
“Mas Reyhan, dengar dulu! Hari ini aku lelah dan kerepotan karena Ana sakit, masih harus bersih-bersih, cuci, masak, setrika…biasanya juga aku usahakan semuanya tersedia buat kamu.”
“Hah, alasan! Lelah dari mana? Kamu ‘kan seharian di rumah! Paling-paling kerjamu tidur siang saja! Sementara aku kerja di kantor, urus klien dan proyek dari bos! Ah sudahlah! Memang kamu kerjanya hanya bisa minta uang bulanan saja, gak becus urus suami!” Reyhan memakai kembali jaketnya.
“Mas, mau pergi kemana?”
“Cari cewek baru yang lebih pintar urus rumah dan suami!” Reyhan memacu motornya meninggalkan rumah. Ia ingin menenangkan diri dan memutuskan untuk menginap di rumah orangtuanya.
~~
Reyhan memarkir motor di teras rumah sempit itu, lalu mengetuk pintu yang dibukakan oleh seorang wanita paruh baya.
“Eh, Reyhan!” Ibu Kartinah memeluk anaknya dengan sayang. “Tumben datang ke sini malam-malam! Yuk, masuk dulu. Sudah makan, belum? Biar Ibu siapkan makanan.”
Reyhan mengikuti masuk ke ruang makan. Ia menjumpai adiknya, Emi, sedang menyuapi Putra, anaknya yang masih balita. Emi menyapa Reyhan, lalu membantu menghidangkan makanan untuk sang kakak.
“Suamimu kemana, Mi?” tanya Reyhan sambil menyuap nasi dan potongan ayam goreng.
“Dia ada tugas di luar kota, Kak. Lusa baru pulang. Kakak ada masalah apa? Kok mukanya cemberut gitu?”
Reyhan akhirnya bercerita perihal pertengkarannya dengan Nanda. Bu Kartinah dan Emi hanya terdiam dan bertukar pandang penuh arti. Malam itu, Reyhan menginap di rumah mereka.
Keesokan harinya, pagi-pagi Emi memanggil kakaknya.
“Kak Reyhan, aku mau antar Ibu check up penyakit jantungnya ke rumah sakit. Putra gak ikut. Tolong jaga dia, ya! Sekalian tolong angkat jemuran dan setrika baju juga, Kak! Kami pergi dulu.”
“Oke deh, Dek! Gampang, kok! Sebentar juga beres!” sahut Reyhan enteng. Setelah Bu Kartinah dan Emi pergi, Reyhan duduk menonton TV di ruang tengah.
Tiba-tiba, terdengar tangisan Putra dari dalam kamarnya. Ia sudah bangun dan ngambek menyadari ibunya tidak ada. “Ssh..Putra baik, jangan nangis dong…Nanti malam kan Mama pulang,” bujuk Reyhan. Setelah Putra tenang, Reyhan membuatkan sarapan. Anak itu susah makan, rupanya. Reyhan harus membujuk dan mengejar-ngejar Putra untuk menghabiskan makanannya.
Reyhan lalu memandikan Putra. Ia meronta-ronta dan lari keluar kamar mandi sambil mengguncang-guncang botol sabun mandinya. Akibatnya, hampir seluruh lantai rumah licin bersabun. “Aduh, dasar bocah badung!” Reyhan mulai jengkel. Putra disuruhnya bermain di kamar sendirian, sementara ia mengepel lantai.
Baru saja lantai selesai dibersihkan…“OM REY!!!” Putra melolong karena ia buang air di celana.
“Ya ampun! Kasur Emi kena pipis!” Reyhan harus membersihkan keponakannya dan tempat tidur yang kotor. Reyhan kerepotan karena di saat bersamaan harus menjaga Putra. Anak itu suka memanjat perabotan, berlari-lari di seluruh rumah, sekali waktu hampir menarik kabel listrik saat Reyhan sibuk menjemur kasur.
Hari menjelang siang, Reyhan sudah lapar, namun Putra harus didahulukan. Reyhan hanya terpikir membuat nasi dan telur ceplok untuk santapan bocah itu. Selepas makan, Putra lalu tidur siang.
Akhirnya, Reyhan bisa duduk sejenak! Ia cepat-cepat makan siang dengan mi instan. Berikutnya ia mencuci pakaian Putra yang tadi kotor kena ompol, serta mengangkat jemuran Emi. Masih harus nyetrika juga, batinnya. Baru saja ia berpikir begitu..
“OM REY!!!” Putra, yang sudah bangun dari tidur siangnya, berlari keluar kamar. Reyhan harus menemaninya main sepanjang sore. Putra akan ngambek jika ditinggal.
Menjelang malam, barulah Emi dan Bu Kartinah pulang.
“Astaga, Reyhan! Kok ini baju-bajunya belum disetrika? Kenapa kasurku ada di depan rumah? Kok di meja gak ada makan malam? Siapin, dong, aku dan Ibu lapar banget!”
“Aduh!” Reyhan frustrasi. “Iya, tadi siang Putra ngompol! Tak sempat aku setrika baju, anak itu gak bisa ditinggal barang sedetikpun! Sudahlah, Dik Emi masak sendiri saja. Aku gak bisa kerjakan semuanya! Capek, tau!”
“Kak Reyhan gimana sih, masa urus rumah aja gak bisa? Kan, gampang! Aku lebih capek loh, seharian di RS bareng Ibu. Katamu tadi pagi, sebentar juga selesai, tapi ini semuanya masih berantakan? Seharian ngapain aja? Paling-paling kamu cuma tidur siang.”
Reyhan tertegun. Kata-kata seperti itulah yang ia lontarkan kepada istrinya semalam.
“Sudah, sudah, Emi. Kasihan kakakmu, dia kewalahan banget,” Bu Kartinah menengahi sambil tersenyum. “Ibu saja yang masak. Kamu mandi, terus main bareng Putra.” Bu Kartinah lalu ke dapur.
Saat makan malam, Reyhan hanya bisa tertunduk.
“Bu..” panggil Reyhan lirih. “Reyhan sekarang mengerti kesulitan Nanda di rumah. Reyhan merasa bersalah sudah ngomong sekasar itu padanya. Ternyata, jadi ibu rumah tangga itu berat. Apalagi kalau sendirian tanpa ada pembantu. Harus urus anak, masak, cuci baju, setrika..belum lagi kalau anak sakit. Masih harus urus suami juga.”
Bu Kartinah tersenyum. “Nah, begitulah. Pekerjaan rumah tangga itu tidak boleh disepelekan. Ibu rumah tangga itu tangguh, lho. Semuanya harus serba bisa. Kalau yang belum pernah mengalami, gak akan tahu bagaimana beratnya. Semoga ini bisa jadi pelajaran buat kamu agar lebih menghargai istrimu dan juga membantu dia. Urusan pekerjaan rumah tangga bukan hanya kewajiban istri, tetapi tanggung jawab bersama pasangan. Suami lantas tidak hanya menyuruh-nyuruh istri mengerjakan semua.”
“Iya, Bu. Reyhan mau pulang saja sekarang, minta maaf sama Nanda. Kasihan, dia pasti lelah banget, mana harus merawat Ana yang sakit.”
“Baiklah kalau begitu, hati-hati di jalan ya, Nak. Sampaikan salam Ibu dan Emi buat Nanda!”
Reyhan tersenyum. Tak lama berselang, terlihat motornya melaju cepat menembus gelapnya malam.
Story by: Sharon